22 Desember di Indonesia diperingari sebagai Mother’s Day–
Hari Ibu. Kita nggak tau darimana datengnya itu, yang jelas seharusnya
Hari ibu bukan alasan untuk baik pada ibu pada satu hari aja, katena
mereka layak mendapatkan itu dari kita setiap harinya.
Jadi Hari Ibu seharusnya bukan ajang ‘pamer’ perhatian pada ibu pada
satu hari saja, namun lebih kepada pengingat bagi ibu dan bagi anak-anak
ibu untuk menghormati dan memuliakan posisi sebagai seorang ibu.
Maka setidaknya ada hal-hal yang harus diingat oleh ibu dan calon ibu:
1. Islam memandang ibu adalah pendidik utama anak
Dalam hadits disebutkan: “Wahai Rasulullah, siapakah di antara
manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah
menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab
beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian
siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah (HR. Bukhari dan Muslim)
Disini ibu disebutkan Rasulullah 3x baru ayah 1x. Kalau boleh
mengambil permisalan, maka seharusnya ibu punya tanggung jawab 3x lipat
dari ayah. Ibulah yang mendidik anak-anaknya dalam porsi yang lebih
besar. Semakin baik kualitas ibu, semakin baik generasi yang dihasilkan.
2. Islam menaruh ibu sebagai orang nomor satu ditaati setelah Allah dan Rasul-Nya
Posisi ini juga bukan posisi yang sembarang, ini posisi yang sangat mulia. Islam lewat ‘birrul walidain’
menggariskan bahwa posisi orangtua adalah paling tinggi setelah Allah
dan Rasul-Nya. Dan ketaatan pada mereka disamakan dengan ketaatan pada
Allah, dan murka mereka sama seperti murka Allah.
Dalam kenyataan, masih banyak kita temukan orangtua, terutama ibu
yang justru melarang anaknya berbuat baik, bahkan mensponsori keburukan.
Melarang anaknya berkerudung dan berjilbab, melarang anaknya berdakwah
dan berjuang dalam Islam, atau bahkan meminta anaknya berpacaran.
Bayangkan, bagaimana yang terjadi pada generasi Islam bila orangtuanya semacam ini? Subhanallah.
Seharusnya sebagai orang yang paling ditaati setelah Allah dan
Rasulullah, ibu menjadi tiang utama dalam mengajarkan amar ma’ruf dan
nahi munkar bagi anaknya. Menjadi teladan hidup bagi anak-anaknya dalam
perjuangan Islam.
3. Ibu lebih memerlukan ilmu dalam mendidik anak-anaknya, karena itu ibu harus lebih banyak ikutan majelis ta’lim (majelis ilmu)
Anak akan menyerap apapun yang dikatakan ibunya, karena ibunya adalah
patron baginya. Ada ibu-ibu yang beralasan pada saya bahwa dia terlalu sibuk, terlalu banyak kerjaan untuk mengikuti majelis ta’lim dan mengkaji Islam.
Justru sebaliknya, semakin banyak kita memiliki anak, maka semakin
banyak ilmu yang perlu kita siapkan. Dan ilmu tidak mungkin ada tanpa
kita cari dan kita kaji.
Membesarkan anak tanpa ilmu sama saja menuntunnya ke depan jurang
kehidupan. Dan mencari ilmu dalam mendidik anak (walaupun sulit), akan
memudahkan urusan kita di alam kubur nantinya.
4. Sayang sekali, sekarang banyak ibu yang lebih sayang kambing daripada anaknya, kambingnya diiket, anaknya dibiarin
Coba lihat
menjelang Idul Adha. Kambing diikat dimana-mana, takut kehilangan.
Ironisnya, ibu-ibu sering membiarkan anaknya bermain tanpa pengawasan,
dan akhirnya mempelajari hidup bukan dari ibunya, tetapi dari
teman-temannya. Balik rumah syukur, nggak balik ya buat lagi.
Ada juga orangtua yang sibuk ikut majelis ta’lim namun tak perhatian pada anaknya. Mereka lupa
bahwa ilmu bukanlah simpanan, namun sesuatu yang harus dibagikan. Mreka
puas ketika menutup aurat, namun bangga ketika anaknya mengumbar aurat.
Banyak yang seperti itu bisa kita lihat pada umat Islam masa kini.
Lebih parah lagi ketika ibu menyuruh anaknya berbuat baik, namun tidak
mencontohkan dengan dirinya. Meminta anaknya menutup aurat di sekolah,
namun ia menjemput anaknya dengan tanktop. Seperti lilin, menerangi
orang lain tapi membakar diri sendiri.
Rupanya banyak ibu yang melupakan bahwa untuk melahirkan anak itu
perlu perjuangan luar biasa selama 9 bulan 10 hari ditambah fase
melahirkan. Kebanyakan ibu memberikan perhatian di awal-awal saja,
padahal pendidikan kepada anak itu terus berlanjut hingga mereka baligh,
bahkan sampai salah satu darinya meninggal.
5. Buat ibu-ibu yang berkarir, “is it worthed?” sekian juta sebagai pengganti waktu dengan buah hati?
Bila kita menanyakan “Siapa ibu de-facto anak-anak masa kini?”. Mungkin ‘pembantu’, ‘babysitter’
adalah jawaban yang tepat. Anak-anak main dengannya, tidur dengannya,
bercengkerama dengannya, disuapi makan olehnya dan bahkan disusui
olehnya. Dengan alasan nafkah (yang sebenarnya bisa kalau diusahakan)
mereka menerjunkan diri pada dunia kerja yang tak berkesudahan. Pergi
saat buah hati masih tidur, dan pulang ketika mereka telah tidur.
Jangan salahkan pembantu dan babysitter ketika anaknya nantinya justru menangis saat ditinggal pembantu atau babysitter daripada ditinggal ibunya.
Saya meminta istri saya tetap dirumah mengurus rumah dan anak. Salah
satu alasan yang paling kuat adalah; saya nggak mau ketika anak saya
telah dewasa, dan seandainya dia tidak seperti yang saya harapkan, lalu
saya dan istri terucap “Coba dulu kita menghabiskan waktu lebih banyak untuk dia (anak)!”
Maksimal mendidik anak bukan masalah materi. Tapi masalah ilmu yang
kita berikan untuk dia. Jangan sampe nyesel dibelakang karena nggak
memberikan pendidikan yang maksimal.
Ala kulli hal, bagi ibu-calon ibu-dan anak-anaknya. Patut
kiranya kita mengetahui bahwa jasa ibu tak akan dapat dibalas oleh
anak-anaknya. Simak hadits berikut:
Suatu ketika Rasul ditanya oleh seseorang : “ Ya Rasul, sunnguh
saya telah menggendong ibu saya sejauh 2 farsakh (9,6 kilometer) di
jalan berpasir yang terik, andai atas pasir itu diletakkan sepotong
daging niscaya matang daging itu. Apakah dengan begitu saya telah
menyampaikan rasa terima kasih saya kepadanya ? “, Nabi menjawab,
“Mungkin hal itu baru bisa membalas sedikit rasa sakitnya saat bunda
melahirkanmu” (HR Thabrani )
Semoga sayang kita kepada kedua orangtua khususnya ibu menjadi lebih
termaknai, dan semoga persiapan menjadi ibu serta mendidik anak semakin
baik.
- Felix Siauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya